Minggu, 26 April 2015

Pengertian Negara Islam dan Negara Kafir menurut pandangan Ahlussunnah.

Negara Islam Vs Negara Kafir

( Gambar: Masjid Nasional Negara Republik Indonesia, Istiqlal di Ibu Kota Jakarta ) 


Sebagian orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang agama ini tidak malu
dan memberanikan diri berbicara tentang permasalahan yang sangat besar.

Mereka mendefinisikan negara Islam menurut hawa nafsunya. Mereka melontarkan syubhat yang membuat keraguan dan melemparkan kedustaan yang membingungkan.

Mereka mengambil dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah semaunya dan
mereka pahami seenaknya tanpa mengembalikan permasalan ini kepada para
ulama’ yang telah diakui keilmuannya oleh kaum muslimin. Sehingga mereka
menyalakan api kerusuhan yang menggoncang keamanan kaum muslimin. Mereka
mengkafirkan pemerintahan Islam dan menyebut kesalahan-kesalahan pemimpin di
atas mimbar, sehingga rakyat tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap
pemerintah yang mengakibatkan terjadinya demonstrasi, perusakan, pembunuhan
dan pengeboman. Mereka mengira baik prasangka mereka bahkan menganggap
tindakan mereka adalah jihad fi sabilillah untuk meninggikan bendera Islam.
Namun sayang seribu sayang!!! Islam mengecam tindakan mereka, bahkan
berlepas diri dari mereka dan apa yang mereka perbuat.

Maka dalam upaya menyingkap topeng mereka dan menepis kedustaan-kedustaan
mereka serta menjelaskan kebenaran tentang definisi negara Islam, kami
hadirkan di hadapan rekan-rekan Pengajian Bahrain makalah yang berjudul
“Negara Islam VS Negara Kafir” yang kami ringkas dari tulisan guru kami
Fadhilatul Ustadz Abdurrahman Toyyib hafidhohullah. Semoga menjadi air yang
menyegarkan rasa haus orang-orang yang mencari kebenaran dan sekaligus
menjadi obat yang menyembuhkan hati orang-orang yang mau kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.

Sesungguhnya diantara yang membuat Islam menangis adalah keekstriman
sebagian pemuda Islam dalam hal yang amat berbahaya. Suatu hal yang
menyebabkan umat terjebak di dalam api fitnah yang membara, dan menjadikan
mereka santapan yang empuk bagi musuh-musuh Islam, serta menjadikan umat
semakin menderita dan terhina. Diantara permasalahan tersebut adalah apa
yang telah dijelaskan para fuqoha’ tentang pembagian negara menjadi dua:
Negara Islam dan Negara Kafir. Dan masing-masing memiliki ciri khas dan
hukum tersendiri untuk membedakan mana negara Islam dan mana negara kafir.
Sebagian orang-orang yang bodoh tersebut menyatakan bahwa kebanyakan
negara-negara Islam sekarang yang berhukum dengan undang-undang buatan
manusia adalah negara kafir
. Dari pengkafiran yang membabi buta inilah,
muncul seruan jihad untuk memerangi orang-orang Islam sendiri dan
menghalalkan darah, harta serta kehormatan mereka. Dan mereka sebenarnya
secara tidak sadar telah menapaki jejak “Khowarij” bukan jejak ahlu sunnah,
meskipun mereka sendiri tidak mau dicap sebagai Khowarij.



Sesungguhnya tidaklah benar jika berhukum dengan undang-undang buatan
manusia dijadikan tolak ukur untuk memvonis suatu negara muslim atau kafir.

Hal ini menyelisihi nash-nash syari’at, serta manhaj ahlu sunnah dan
kesepakatan ulama’ kaum muslimin dari semua madzhab (empat madzhab).

TOLAK UKUR NEGARA ISLAM DAN KAFIR

Kekuasaan kaum muslimin atau kaum kafir atas suatu negara adalah tolak ukur
negara itu negara itu itu Islam atau kafir.
Adapun ciri-ciri yang lain
berikutnya, seperti: Keamanan atau ketakutan, penerapan hukum Islam atau
hukum selain Islam.

Empat Madzhab sepakat, bahwa suatu negara menjadi negara Islam apabila
dikuasai kaum muslimin; sehingga mereka bisa menampakkan hukum-hukum Islam
serta menolak musuh-musuh mereka. Hal tersebut bisa terjadi dengan cara
penaklukan atau perdamaian, baik semua penduduknya muslim atau kafir,
seperti negeri yang dihuni oleh kaum kafir dzimmi (dilindungi).

Yang perlu diketahui, bahwa yang dimaksud menampakkan hukum-hukum Islam,
adalah menampakkan syiar-syiar Islam, seperti: sholat, jum’at, Iedul Fithri,
Iedul Adha, puasa Ramadhan, haji tanpa adanya larangan dan kesulitan. Dan
bukanlah semua hukum Islam harus ditegakkan.

Tapi bukan berarti kita tidak setuju dengan penerapan hukum Islam secara
keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan kita untuk masuk Islam secara
keseluruhan. Namun permasalahannya sekarang adalah bagaimana kita menghukumi
sesuatu dengan adil. Misalnya: ada orang minum minuman keras, apakah kita
harus mengkafirkan orang itu karena dia telah melanggar syari’at Islam?!
Atau kita mengatakan: ia adalah orang Islam, namun ia telah melakukan
kesalahan.

DALIL DARI HADITS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM

Dari Buraidah rodhiyallahu anhu -ketika Rosulullah shallallahu alaihi
wasallam memerintahkan pasukannya untuk berjihad memerangi kaum musyrikin-
beliau bersabda: “Serulah kepada mereka kepada Islam, jika mereka sepakat,
maka terimalah dan janganlah perangi mereka. Lalu serulah mereka untuk
berpindah dari negeri mereka ke negeri Muhajirin. Beritahukan kepada mereka,
bahwa apabila mereka melakukan hal itu, maka mereka memiliki hak dan
kewajiban seperti orang-orang muhajirin.” (HR. Muslim:1731)

Di dalam hadits ini, Rosulullah shallahu alaihi wasallam menisbatkan suatu
negeri kepada Muhajirin, karena keberadaan dan kekuasaan mereka di sana. Dan
beliau memerintahkan mereka untuk pindah dari negeri yang kekuasaannya bukan
di tangan kaum muslimin, menuju negeri yang kekuasannya di tangan kaum
muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa negeri yang di bawah kekuasaan kaum
muslimin, maka negeri itu adalah negeri Islam.

Syaikhul Islam rohimahullah berkata: “Suatu tempat dikatakan negara kafir,
jika dihuni oleh orang-orang kafir. Lalu negara itu bisa berubah menjadi
negara Islam, jika penduduknya masuk Islam, seperti Makkah dahulu yang
awalnya adalah negara kafir.”
(Majmu’ al Fatawa, 27/143)


Dari Anas bin Malik rodhiyallahu anhu berkata:
“Dahulu Rosulullah
shallallahu alaihi wasallam menyerang (musuh) ketika adzan dikumandangkan.
Jika beliau mendengar adzan, maka beliau tidak jadi menyerang. Tapi jika
tidak terdengar adzan, maka beliau akan melancarkan serangan.”
(HR.
Bukhori:610, Muslim:1365)



Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas, bahwa nampaknya syiar-syiar
Islam, sudah cukup untuk menghukumi suatu tempat sebagai negeri Islam. Dan
syiar-syiar ini termasuk koksekuensi adanya kekuasaan tempat tersebut,
seperti yang telah dijelaskan.

Ibnu Hazm
rohimahullah berkata: “Suatu negara itu dilihat dari kekuasaan,
mayoritas (penduduknya), dan penguasa atau pemimpinnya.” (lihat Al
Muhalla:13/140)


Al Hafidz Abu Bakar Al-Isma’ili rohimahullah berkata: “(Ahlu Sunnah)
berpendapat, bahwa negara itu negara Islam bukan negara kafir sebagaimana
yang dikatakan oleh Mu’tazilah, selama adzan untuk sholat masih
dikumandangkan, dan penduduknya masih berkuasa dan terjamin keamanan.”
(I’tiqod Ahli Sunnah: 10/114)

UCAPAN PARA ULAMA’ EMPAT MADZHAB


Ulama’ Madzhab Hanafi.
As Sarakhsi rohimahullah berkata: “Sesungguhnya sebuah tempat dinisbatkan
kepada kita (kaum muslimin), atau kepada mereka (kaum kafir) berdasarkan
kekuatan dan kekuasaan. Semua tempat yang tersebar kesyirikan di dalamnya,
dan kekuasaan di tangan kaum musyrikin, maka itu dinamakan negara kafir. Dan
semua tempat yang tersebar di dalamnya syiar-syiar Islam, dan kekuatannya di
tangan kaum muslimin, maka itu dinamakan negara Islam.” (lihat Syarhus
Sa’ir: 3/81) Al Jashshos rohimahullah berkata: “Sesungguhnya tolak ukur
suatu negara itu berdasarkan kekuasaan dan tampaknya syiar-syiar agama di
dalamnya. Buktinya adalah, apabila kita menaklukkan salah satu negara kafir
dan kita menampakkan syiar-syiar kita, maka negara itu menjadi negara
Islam.” (Al Aulamah: 100)

Ulama’ Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Bar rohimahullah berkata: “Aku tidak menjumpai perselisihan
tentang wajibnya adzan bagi penduduk negeri, karena hal itu adalah tanda
yang membedakan negara Islam dan negara kafir.” (Al Istidzkar: 18/4, Tamhid:
3/61) Al Maaziri rohimahullah berkata: “Di dalam adzan itu ada dua makna:
yang pertama menampakkan syiar Islam, yang kedua untuk menjelaskan bahwa ini
adalah negara Islam.” (Adz Dzakhiroh: 2/58)

Ulama’ Madzhab Syafi’i
Ar Rosfi’i rohimahullah berkata: “Cukup sebuah negara dikatakan negara
Islam, jika di bawah kekuasaan imam (kaum muslimin), meskipun tidak ada
satupun muslim yang di sana. (At Taaj wa Iklil: 1/451)


Ulama’ Madzhab Hambali
Ibnu Muflih rohimahullah berkata: “Setiap negara yang mayoritasnya adalah
syiar Islam, maka disebut negara Islam. Dan apabila syiar kafir yang
mayoritas, maka disebut negara kafir.” (Al Adab Asy Syar’iyyah:1/212)
Ucapan para ulama’ di atas jika kita renungkan kembali, maka kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa, diantara bentuk negara Islam adalah negara yang
ditaklukkan oleh kaum muslimin dan dihuni oleh orang-orang kafir dengan
membayar jizyah Dan tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang kafir tersebut
secara otomatis berhukum dengan selain hukum Allah. Hal ini menunjukkan
dengan sejelas-jelasnya bahwa tolak ukur semua ini adalah kekuasaan atas
negara tersebut. Adapun terlihatnya syiar-syiar Islam, hanyalah tanda akan
adanya kekuasaan tersebut, yang terkadang bisa lemah dengan hanya sebagian
saja syiar yang nampak dan disertai adanya syiar-syiar kafir, selama
kekuasaan di tangan kaum muslimin dan bukan di tangan kaum kafir; maka
negara itu adalah negara Islam.

Untuk melengkapi pembahasan ini, berikut kami hadirkan soal dan jawaban,
mudah-mudahan bermanfaat bagi kita. Amin.

Soal 1 : Apakah Indonesia dan Malaysia dinamakan negara Islam?

Jawab: Indonesia dan Malaysia termasuk negara Islam, karena negara tersebut
dikuasai oleh pemimpin yang muslim dan juga di dalamnya dinampakkan
syiar-syiar agama Islam.

Soal 2 : Apakah Indonesia dan Malaysia berhukum dengan hukum Allah, sehingga
negara itu dinamakan negara Islam?


Jawab : Alhamdulillah negara Indonesia dan Malaysia adalah negara Islam yang
berhukum dengan hukum Allah, meskipun tidak menerapkan hukum Allah secara
sempurna seratus persen (100 %). Hal itu terbukti dengan nampaknya
syiar-syiar Islam yang terbesar di Indonesia dan Malaysia, seperti:
dikumandangkannya adzan untuk menegakkan sholat lima waktu, diadakannya
lembaga-lembaga penerimaan zakat, dibentuknya panitia penentuan awal
Romadhon, disediakannya panitia pemberangkatan jama’ah haji dari pemerintah,
akad nikah sesuai dengan syariat Islam dan lain-lain sebagainya.
Memang hukum-hukum pidana belum terlaksana secara penuh di Indonesia dan
Malaysia, seperti: potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina yang sudah
menikah, hukum qishosh dll. Namun hal itu, tidak menghalangi kita untuk
menamakan negeri tersebut adalah negeri Islam, selama syiar-syiar Islam
terbesar yang telah kami sebutkan di atas dinampakkan. Seperti halnya
apabila ada seorang muslim yang suka bermaksiyat, seperti: bakhil, tidak mau
puasa, suka berjudi, berzina, minum khomr; apakah kita mengatakan ia kafir
murtad keluar dari Islam hanya lantaran ia tidak menerapkan syareat Islam
pada dirinya sendiri?!!! Kalau saja kita tidak diperbolehkan mengkafirkan
seorang muslim yang banyak melanggar syareat Islam, maka kita lebih tidak
diperbolehkan mengkafirkan negara atau pemimpin yang belum bisa menerapkan
syreat Islam secara sempurna, selama syiar-syiar Islam terbesar dinampakkan.
Wallallahu A’lam.


Soal 3 : Apakah wajib bagi kita mentaati pemimpin atau penguasa yang tidak
menerapkan syareat Islam dengan sempurna?

Jawab : Wajib mentaati pemimpin kaum muslimin, selama kita tidak
diperintahkan untuk berbuat kemaksiyatan. Wajib mentaati pemimpin, meskipun
pemimpin itu adalah pemimpin yang fasik (banyak berbuat dosa). Yang demikian
itu, karena mentaati pemimpin adalah kewajiban kita, sedangkan dosa mereka
bukan tanggung jawab kita.

Perhatilakanlah sikap para ulama’ dari kalangan sahabat, seperti: Ibnu Umar,
Anas bin Malik rodhiyallahu anhum, dan pembesar Tabi’in seperti: Hasan Al
Bashri, Said bin Musayyab, Salim bin Abdullah rohimahumullah; bagaimana
sikap mereka terhadap penguasa yang kejam? Ketika itu yang menjadi amir
(pemimpin) adalah Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqofi sang pembunuh lagi banyak
berbuat aniaya, namun mereka tidak pernah mengkafirkan Hajjaj dan
mengkafirkan negeri yang dipimpin Hajjaj dan tidak pernah memerintahkan kaum
muslimin untuk memberontak Hajjaj, padahal pada akhirnya Ibnu Umar sendiri
wafat akibat ulah kejahatan Hajjaj.

Dan juga perhatikan sikap imam kaum muslimin Ahmad Bin Hambal rohimahullah
yang dipenjara dan disiksa, karena ia berpegang teguh mengatakan bahwa Al
Qur’an adalah Firman Allah. Dan pemerintahan waktu itu mengatakan bahwa Al
Qur’an adalah makhluk bukan firman Allah. Beliau dipaksa oleh penguasa untuk
mengatakan Al Qur’an adalah makhluk, namun Imam Ahmad bin Hambal tetap teguh
pendiriaannya dan tidak ragu-ragu mengatakan bahwa Al Qur’an adalah firman
Allah; sehingga beliaupun dipenjara dan disiksa selama tiga kali pergantian
raja. Walaupun demikian, beliau tidak pernah mengkafirkan pemerintahan dan
tidak pernah meminta kaum muslimin untuk memberontak penguasa, padahal
beliau waktu itu adalah seorang imam yang suaranya didengar dan ditaati oleh
kaum muslimin.

Maka wajib bagi kita mengambil suri tauladan kepada para sahabat dan para
ulama’ robbani yang memperjuangkan Islam dengan pemahaman yang benar, dan
wajib bagi kita mengambalikan permasalahan-permasalan agama kepada mereka
agar kita tidak tersesat dari jalan yang lurus. Dan janganlah kita
terperdaya dengan teriakan para pencetus jama’ah-jama’ah dan gerakan-gerakan
bawah tanah yang mereka melegalkan pemberontakan kepada penguasa dan
mengahalalkan tumpahnya darah yang dilindungi oleh syariat Islam.
Akhirnya demikian pembahasan yang dapat kami hadirkan, mudah-mudahan Allah
selalu menunjukkan kita ke jalan yang yang di ridhoi-Nya. Amin.

Hidd-Bahrain,

Kamis 22 Dzul Qo’dah 1429 H
20 November 2008 M
AHMAD JAMIL BIN ALIM BIN HAMID

Sumber:  https://abunamira.wordpress.com/2010/11/27/pengertian-negara-islam-dan-negara-kafir-menurut-pandangan-hizbut-tahrir-dan-ahlussunnah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar