Rabu, 06 Agustus 2014

BAI'AT....Apa itu..? ( Penting,,,,! Agar tidak terjebak Bai'at ala ISIS )

Bai'at secara terminologi/Istilah maknanya adalah: Pengikatan janji setia dan taat kepada seorang pimpinan untuk selalu menaati perintahnya baik di kala senang ataupun terpaksa, serta menyerahkan segala urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepadanya, dengan tidak menentangnya sedikit pun dalam urusan itu. (Iklilul Karamah, karya Al-Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah, hal.26)

Siapakah yang Berhak Dibai’at?

Bai’at hanya berhak diberikan kepada seorang imam (pemimpin) kaum muslimin.Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah kepada Ishaq bin Ibrahim bin Hani: “Tahukah kamu siapakah yang dimaksud dengan imam? Dia adalah seorang yang disepakati oleh kaum muslimin sebagai pemimpin mereka, itulah makna imam.”  (Masa`il Ibni Hani no. 2011, dinukil dari Nashihah Dzahabiyyah, karya Masyhur Hasan Salman, hal. 281; As-Sunnah karya Al-Khalal, 1/81)


Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata: “Bai’at tidak (boleh) diberikan kecuali kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin. Adapun aneka ragam bai’at yang diberikan kepada selain pemimpin kaum muslimin maka merupakan bai’at yang bid’ah.” (Fiqhus Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 9-10)

Lalu bagaimana bila kaum muslimin tidak mempunyai pemimpin (khalifah) yang memimpin mereka secara keseluruhan di dunia ini, kepada siapakah mereka berbai’at?

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata. (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hal. 34, lihat pula masalah ini dalam Iklilul Karamah hal. 127)

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang Imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu, pen.) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing, pen.). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512 dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)

Berdasarkan penukilan yang demikian jelas dari sebagian ulama di atas tentang boleh berbilangnya pemimpin, dikarenakan darurat dan kebutuhan (kaum muslim kepadanya, pen.), maka para pemimpin kaum muslimin yang ada di dunia ini (baik yang memimpin kerajaan ataupun negara, pen.) secara syar’i (sah) mempunyai wewenang sebagaimana wewenang Al-Imam Al-A’zham (khalifah) ketika masih ada, sehingga mereka berwenang untuk menegakkan hudud dan yang sejenisnya, mereka berhak untuk didengar dan ditaati serta tidak diperbolehkan keluar dari ketaatan terhadap mereka (baik dengan cara memberontak ataupun yang lainnya, pen.). (Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas Rahimahullah hal. 38).

Demikianlah perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kesimpulan:

Dalil-dalil yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallhu 'Alaihi Wasallam semuanya menunjukkan bahwa bai’at tersebut tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amri, penguasa sebuah negeri. Baik ia disebut khalifah, presiden, raja, atau yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah Berkata:“Nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin yang diketahui wujudnya, yang mempunyai kekuasaan yang dengannya mereka mampu mengatur tatanan masyarakat, bukan taat kepada pemimpin yang tidak ada wujudnya dan majhul (tidak dikenal), bukan pula orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.” (Minhajus Sunnah, 1/115)

Al-’Allamah Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, ketika menjawab pertanyaan tentang bai’at yang dilakukan jamaah-jamaah, mengatakan, “Bai’at tidak sah kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at (lain) yang bermacam-macam adalah bid’ah, dan ini termasuk sebab perselisihan. Yang wajib bagi kaum muslimin yang tinggal di satu negeri dan satu kekuasaan agar bai’at mereka hanya satu, untuk satu pemimpin. Tidak dibolehkan melakukan bai’at yang beraneka macam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/367)

Lihat: http://asysyariah.com/baiat-antara-prespektif-ilmiah-ahlussunnah-dan-dugaan-sesat-ahlul-bidah-wal-furqoh/

http://asysyariah.com/siapakah-yang-wajib-di-baiat/

Haruskah Semua Berbaiat?


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah ditanya tentang makna hadits “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak ada ikatan baiat di lehernya maka dia mati sebagaimananya matinya orang jahiliyyah (yang tidak memiliki penguasa)”.

Jawaban beliau, “Aku berharap bahwa berbaiat (secara langsung kepada penguasa, pent) bukanlah kewajiban orang. Sesungguhnya jika seorang itu telah masuk ke dalam ketaatan dan kepatuhan (kepada seorang penguasa, pent) dan dia berkeyakinan bahwa dia tidak boleh menentang dan memberontak kepada seorang penguas serta tidak boleh durhaka kepada aturan penguasa selama aturan tersebut tidaklah bernilai maksiat kepada Allah, maka itu sudah cukup baginya (sehingga tidak perlu berbaiat langsung, pent).

Al Duror al Saniyyah fi al Ajwibah al Najdiyyah juz 9 hal 11, cetakan ketujuh tahun 1425 H.

Lihat: http://salafiyunpad.wordpress.com/2010/09/27/haruskah-semua-berbaiat-bantahan-bagi-ldii-dan-jamaah-baiat-lainnya/#more-7539


Sehingga, berbaiat kepada kelompok ISIS adalah TIDAK BENAR dan TIDAK SESUAI DENGAN ISLAM....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar