Sebagian orang mengatakan para ulama telah sepakat (ijma’) peniadaan ‘udzur atas kejahilan dalam masalah ‘aqidah, sehingga tidak dipersyaratkan adanya iqaamatul-hujjah (dengan syarat kepahaman terhadap khithaab nash).[1] Pemahaman ini berjangkit di sebagian kelompok takfiriy, sehingga mereka pun serampangan dalam mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengannya. Tidak lupa, mereka memberikan cap pada orang-orang yang tidak turut mengkafirkan orang yang mereka kafirkan sebagai Murji’ah. Bahkan mereka mengatakan ‘udzur dengan sebab kejahilan adalah perkara bid’ah dalam agama yang diada-adakan oleh orang-orang belakangan.
Jawab : Tidak benar, karena para ulama telah
berselisih pendapat dalam permasalahan ini.
1.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah ketika membahas
permasalahan al-asmaa’ wash-shifaat yang telah tsabt dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, berkata :
فإن
خالف ذلك بعد ثبوت الحجة عليه، فهو بالله كافر، فأما قبل ثبوت الحجة عليه من جهة
الخبر فمعذور بالجهل، لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل، ولا بالروية والفكر
“Apabila ia menyelisihi hal itu setelah tegaknya hujjah
padanya, maka ia kafir terhadap Allah. Namun jika penyelisihannya itu sebelum
tegak hujjah khabar padanya, maka ia diberikan ‘udzur dengan sebab
kejahilannya, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal,
pandangan, dan pemikiran” [Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/263, Itsbaatu
Shifaatil-‘Ulluw li-Ibni Qudaamah no. 90, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
10/79-80].