Selasa, 22 Mei 2012

Amalan di Bulan Rajab


Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut?

MENGKAFIRKAN TANPA SADAR


(Buku “Kafir Tanpa Sadar” membawa Faham Takfir)
Oleh : Al-Ustadz ‘Abdurrahman Thayyib, Lc.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang ciri-ciri Khawarij :
“Akan muncul di akhir zaman sekelompok orang yang masih ingusan dan bodoh. Mereka membaca Al-Qur’an, namun iman mereka tidak sampai kepada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari sasarannya. Dimana saja kalian bertemu mereka, maka bunuhlah mereka karena dalam pembunuhan tersebut ada pahala bagi orang yang membunuhnya pada hari kiamat”. [HR. Bukhari 6930)

Diantara ciri Khawarij juga, adalah apa yang disebutkan oleh para ulama, bahwa mereka sering membawakan sebuah ayat Al-Qur'an dan ditafsirkan menurut hawa nafsu dan kebodohan mereka, ayat itu adalah :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." [QS. Al-Maidah : 44]

Inilah ucapan para ulama tentang hal di atas :

Sabtu, 19 Mei 2012

Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, Shalahuddin Al Ayubi Pro Maulid Nabi?


Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan tolonglah).
Kerancuan Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah
Di salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.
Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]
Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut.
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال  مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم
Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.
Oleh karena itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’) bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya). Inilah yang beliau makruhkan.
Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal  ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.

Selasa, 15 Mei 2012

MITOS SYIRIK GUNUNG SALAK Oleh Ustadz Jafar Salih Hafidhohullah

(Tanggapan terhadap artikel: misteri gunung Salak, burung pun bisa jatuh di atas makam Syekh)
Bukannya mengambil hikmah dari kecelakaan Sukhoi dengan bertobat dari kemaksiatan dan dosa, seorang “pemuka” di kaki gunung salak, desa palasari, Cijeruk malah menganjurkan makam Syekh Hasan dikukuhkan sebagai tempat ziarah. “Perlu semacam ada pengukuhan makam Syekh Hasan menjadi tempat ziarah” kata Habib Mukhsin Barakbah.
Musibah Sukhoi dan Makam Syekh Hasan
Allah yang maha bijak telah menetapkan bahwa segala sesuatu ada sebabnya. Apakah berdasarkan dalil syar’i atau kauni. Al Qur’an misalnya adalah sebab syar’i bagi kesembuhan, bagitu pula madu, habbatsauda’, air zamzam, semuanya adalah sebab kesembuhan berdasarkan dalil Al Qur’an dan hadits yang shahih. Begitu pula api yang merupakan sebab kauni untuk membakar, dan seterusnya.

Kerusakan Aqidah di balik kecelakaan Sukhoi superjet 100 Oleh Fadhel Ahmad

Peristiwa kecelakaan pesawat sukhoi superjet 100 dari Rusia  yang terjadi di kawasan gunung salak kab bogor jawa barat dan menewaskan seluruh penumpang berjumlah 42 orang sungguh sangat mengagetkan, tetapi yang lebih mengagetkan adalah opini-opini serta pandangan – pandangan dibalik peristiwa naas itu. Hati ini terasa ngeri dan teriris manakala membaca pemberitaan di media massa. Fenomena paganis atau kesyirikan yang sangat nampak didepan mata, anehnya kesyirikan itu justru keluar dari mulut seorang yang mengaku ulama’ dan juga dari seorang yang mengaku keturunan Nabi Muhammad (baca: habib ). Pembaca yang budiman sungguh bencana kecelakaan ini besar tetapi kecelakaan aqidah dibalik bencana itu lebih besar dan sungguh adanya orang-orang semacam KH Marsa Abdullah dan Habib Mukhsin Barakbah  lebih harus dianggap bencana karena menghasung dan memprofokasi orang untuk berbuat syirik.
Letak kesyirikan
1.Keyakinan bahwa kuburan mbah gunung salak bisa mengatur alam ( baca : cuaca )
Inilah apa yang bisa kita pahami dari kandungan berita dalam situs:  http://www.tribunnews.com/2012/05/15/kala-mbah-gunung-salak-mengatur-cuaca
Sungguh ini bertentangan dengan tauhid Rububiyyah dimana seorang hamba wajib meyakini bahwa segala apa yang ada di alam semesta ini hanya Allah yang mengatur

Rabu, 09 Mei 2012

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (2)


Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id


Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Selasa, 01 Mei 2012

TINGKATKAN WAWASAN KEILMUAN ANDA MELALUI MAJELIS TA'LIM

JADWAL KAJIAN RUTIN
MAJELIS TA’LIM ISLAMIC CENTER ALBAROKAH
TEGALSARI-SEMARANG
Jl. Tegalsari Barat 1 no 12 Semarang
081390472062, 085326099261
www.majelis-albarokah.com .www.alkendali.blogspot.com
HARI
MATERI
KITAB
PEMATERI
WAKTU
RABU
TAUHID
Al-Mulakhosh Syarh  
Kitab Tauhid              Dr Shalih al Fauzan
Ust Abu Ahmad
16:00-MAGHRIB

TAUHID
TSALATSATUL USHUL
Syaikh Muhammad
Ust Abu Ahmad
BA’DA MAGHRIB-ISYA’





SABTU 1
FIKIH RINGKAS
Ad-Durorul bahiyyah
Imam Syaukany
 Fadhel Ahmad
16:00-MAGHRIB

MANHAJ
Min Ushul Aqidati ahli sunnah wal jama’ah
Dr. Shalih al Fauzan
 Fadhel Ahmad
BA’DA MAGHRIB-ISYA’





SABTU 2
AQIDAH
Fiqh al- asma’il husna
Prof. Dr Abdurrazzaq al abbad
Ust Hannan Ba Hannan
16:00-MAGHRIB

MANHAJ
Zaadul Ma’ad
Imam Ibnul Qoyyim
Ust Hannan Ba Hannan
BA’DA MAGHRIB-ISYA’





SABTU 3
BIMBINGAN HATI
Bahjatulqulub al abrar
Syaikh as-Si’dy
Ust Muhammad Na’m, Lc
16:00-MAGHRIB

FIKIH KELUARGA

Ust Muhammad Na’im, Lc
BA’DA MAGHRIB-ISYA’





SABTU 4
BIMBINGAN HATI
Miftah Dar as-Sa’adah
Imam Ibnul Qoyyim
Ust Jauhari, Lc
16:00-MAGHRIB

HADITS
Riyadhus shalihin
Imam Nawawy
Ust Jauhari, Lc
BA’DA MAGHRIB-ISYA’