Rabu, 29 Juni 2011

Kajian Kitab Ad-durorulbahiyyah fi masailfiqhiyyah Al-Imam Asy-Syaukany Rahimahullah

Bismillah
Dengan mengharap ridho Allah Hadirilah kajian rutin insya Allah diadakan dua pekan sekali setiap hari ahad pertama dan ketiga
Materi            :Kitab Ad-durorulbahiyyah fi masailfiqhiyyah Al-Imam Asy-Syaukany Rahimahullah(kitab fiqih)
Pemateri         : Abu Abdilmuhsin Fadel ahmad
Tepat              : Rumah Al akh ahmad tubi(Foto copy lestari Barat pasar mijen SMG)
Hub                :085226104460 (ahmad tubi)
Pnyelenggara   : Majelis Taklim As-Sunnah Boja Kendal
                                                                                                                                                                                                                                                            

Senin, 27 Juni 2011

Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU

Oleh. Ustadz Aris Munandar
Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000
Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan.
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه،
“Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya.
لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة،
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.
Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.
ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك.
Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut.
(وصورتهما).
Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya.

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.
Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.
فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.
Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk yang pernah bersabda, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far”.  Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala karena melarang kebiasaan di atas? Berilah kami jawaban secara tertulis”.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.
اللهم أسألك الهداية للصواب.
Jawaban, “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban yang benar kepada Allah.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah munkarah. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan Islam dan muslimin dengan sebab beliau.
قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم،
al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit selama sehari dan semalam
للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka –dari menyiapkan makanan–”
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.
Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau makan karena malu atau sangat sedih.
ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية،
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،
Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah.
لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang menyedihkan
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه.
Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela sungkawa.” Sekian penjelasan dari penulis Tuhfah al Muhtaj.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه.
Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.” Sekian dari Hasyiyah al Jamal.
وقد قال رسول الله (صلى الله عليه و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.
Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.
وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”.
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”.
كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.
Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini Dahan, mufti Syafi’i di Mekkah. Moga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, para gurunya dan seluruh kaum muslimin.
(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.
Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya.
نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.
Betul, penguasa tersebut- moga Allah berikan kepadanya pahala yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama.
قال في (رد المحتار تحت قول الدر المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan penjelasan untuk kitab al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim.
ولانه بر ومعروف،
Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan.
ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.
Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”.
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.
Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit menyajikan makanan adalah bid’ah.
روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitab Radd al Muhtar-kitab fikih mazhab Hanafi-.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.
Dalam kitab al Bazzaz disebutkan, “Makruh hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai kesempatan dst”.
وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع. والله سبحانه وتعالى أعلم.
Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu a’lam.
كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما.
Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekkah seraya memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya.
وقد أجاب بنظير هذين الجوابين مفتي السادة المالكية، ومفتي السادة الحنابلة.
Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti Hanbali”.
Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura.

Catatan:
Bandingkan penjelasan di atas dengan praktek saudara-saudara kita, jamaah NU yang hanya mengenal NU secara kultural bukan secara ajaran sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab NU standar.
Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.
Zaini Dahan ternyata tidak menolerir acara tahlilan dengan alasan sikap arif terhadap budaya lokal. Bahkan beliau menegaskan bahwa memberantasnya adalah amalan yang berpahala. Bandingkan dengan sikap banyak orang NU yang menolak kebenaran dengan alasan sikap arif dengan budaya lokal, meneladani dakwah Sunan Kalijaga padahal model dakwah Sunan Kalijaga sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri dll.
Berdasarkan penjelasan mufti Hanafi di atas acara tahlilan adalah bid’ah yang harus diberantas menurut mayoritas ulama.

Rok Panjang, Busana Resmi SMP-SMA di Makassar

Berangkat dari keresahan melihat seronoknya pakaian siswi sekolah menengah dalam wilayah kerjanya, Ilham Arif Sirajuddin, Walikota Makassar, membuat gebrakan baru dalam hal berbusana bagi siswi SMP dan SMA. Siswi baru diwajibkan menggunakan rok panjang sebatas mata kaki. Ilham juga menegaskan, rok panjang yang menjadi busana resmi para siswi itu tidak boleh mempunyai belahan. "Dengan busana itu, saya berharap para siswi bisa tampil lebih feminin, sopan, dan terpelajar. Tidak seperti sebelumnya, mengenakan rok pendek sehingga mudah menimbulkan penilaian negatif. Di Jawa, khususnya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Banten, busana itu sudah lama dikenakan para siswi SMP dan SMA," ujar Walikota Makassar. Kewajiban mengenakan rok panjang ini tertuang dalam surat edaran Walikota Makassar bernomor 425/2096/DP/ VI/ 2006 tertanggal 28 Juni 2006. Ilham menyadari bahwa aturan baru yang akan diberlakukan mulai tahun ajaran baru 2006/ 2007 tersebut akan menuai pro-kontra dari masyarakat. Namun Ilham yakin pihak yang mendukung kebijakan tersebut lebih banyak. Menurutnya, kebijakan pemakaian rok panjang tersebut adalah imbauan moral kepada masyarakat untuk hal yang lebih baik. "Saya akan tetap memberlakukannya, itulah risiko dari setiap kebijakan," kata Ilham. Ilham menambahkan, yang diwajibkan terlebih dahulu adalah siswa baru karena mereka memang harus membeli seragam. "Namun aturan ini akan bertahap diikuti siswa kelas II dan III," ujar Ilham. Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Muhammad Asmin, mengatakan, aturan tersebut berlaku universal, sehingga semua sekolah tanpa terkecuali harus menjalankannya. Termasuk bagi sekolah non-Muslim. Asmin juga menambahkan bahwa rok panjang bukan pakaian muslimah. Menurutnya, rok panjang adalah pakaian nasional di bidang pendidikan, supaya pemakainya terlihat lebih sopan. Menyusul surat edaran kewajiban memakai rok panjang bagi siswi baru SMP dan SMA tersebut, Asmin melarang keras para guru memanfaatkan kesempatan ini untuk berbisnis rok. "Saya akan memberikan sanksi kepada guru maupun kepala sekolah yang melakukan bisnis rok panjang. Biarkan orangtua siswa membeli sendiri di pasar, jangan mewajibkan mereka membeli di sekolah," katanya tegas. Menurutnya, penawaran seragam sekolah maupun alat belajar-mengajar lainnya yang dipaketkan dalam sistem pendaftaran tidak dibenarkan. Menurut Asmin, langkah ini sama saja melakukan penawaran paksa kepada orangtua siswa. Pihak sekolah menyambut positif aturan penggunaan rok panjang tersebut. Saleh Rugaya, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) tingkat SMP Makassar, mengatakan, kebijakan walikota tersebut akan mengurangi tingkat kriminalitas, khususnya pelecehan seksual di sekolah-sekolah. "MKKS SMP negeri se-Makassar siap menjalankan aturan tersebut," ujarnya. Di lain pihak, toko besar konveksi dan pedagang eceran di Kota Makassar yang ditemui Suara Karya mengaku cukup sepakat dengan aturan baru yang akan segera berlaku tersebut, walaupun ada di antaranya yang akan merugi karena aturan ini. Seperti yang terjadi pada Asri, salah seorang pedagang eceran yang tiap harinya berdagang di pasar sentral, mengaku rugi sampai tiga puluh juta rupiah. (Andi Siti Aisyah)

Kajian Ahlussunnah Wal jamaah

Bismillah
Insya Allah akan diselenggarakan kembali kajian islam rutin hari Rabu

Materi    : Tafsir Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 120 Karya Asy-Syaikh Muhammad bin shaleh Al-Utsaimin Rohimahullah
           dan kitab Manhajulambiya fi tazkiyyatinnufus Karya Asy-Syaikh Abu Usamah Salim bin ied Al -Hilaly Hafidzohullah
Pemateri :Al-Ustadz Jauhari LC Hafidzohullah (Alumni Universitas Islam Madinah Arab Saudi)

Waktu    : Hari Rabu 29 juni 2011 jam 16:00-Setelah Isya

Tepat      :Rumah Abu Zaki (Beni Samodra) & Masjid Al -fattah JlTegal Sari Barat Semarang
Info         :081325888015

Penyelenggara: Majelis Taklim Al -Barokah Semarang

2 Metode Ahlussunnah dalam Berdakwah ((Nasihat kepada Pemuda Ahlussunnah)) -5 oleh أبو المنذر الجاكرتي pada 08 Juni 2011 jam 14:27

Dalam mendakwahi manusia seorang dai hendaknya menempuh 2 metode syar'i seperti yang dituntunkan oleh nash-nash yang ada. 2 metode tersebut adalah:(pertama)  memotivasi dan merangkul , (kedua) memberi peringatan dan menjauhi. Dan telah keliru orang-orang yang menempuh salah satunya saja kepada semua orang. Bahkan yang seharusnya adalah terhadap objek dakwah seorang da'i menempuh metode yang paling bisa membantu saudaranya menerima kebenaran dan kembalinya ia kejalan yang haq. Apabila dengan memotivasi yang paling tepat bagi objek dakwahnya dan lebih membantunya kepada kebaikan maka metode inilah yang disyariatkan baginya. Dan apabila dengan memperingatkan dan menjauhinya yang lebih berguna maka metoede inilah yang disyariatkan baginya.

Barangsiapa menempuh metode "memotivasi dan merangkul" terhadap orang yang seharusnya diperingatkan dan dijauhi, maka ia telah jatuh kepada kelalaian dan kurang dalam menunaikan kewajibannya. Dan barangsiapa menempuh metode "memperingati dan menjauhi" terhadap orang yang sebharusnya dimotivasi dan dirangkul maka berarti ia munaffir (membuat orang lari) dan mutasyaddid  (ekstrem).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan; Prinsip hajr (boikot) berbeda penerapannya sesuai kondisi pihak yang diboikot, (harus diperhatikan) kuat-lemahnya mereka atau sedikit-banyaknya mereka. Karena maksud yang ingin dicapai darinya adalah berhentinya pihak yang diboikot dari penyimpangannya dan mentatar mereka serta menjauhnya orang-orang awam dari meniru penyimpangannya. Apabila dalam memboikot jelas maslahatnya dimana boikot yang diterapkan menjadikan kejelekan melemah atau tidak lagi dilakukan terang-terangan maka memboikot pada kondisi seperti ini disyariatkan. Adapun apabila pihak yang diboikot atau selainnya tidak berhenti dari kejelekannya bahkan kejelekannya semakin bertambah. Dan pihak yang memboikot orang yang lemah dimana menerapkan boikot pada kondisi seperti ini mafsadatnya lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan. Bahkan memotivasi dan merangkul bagi sebagian orang lebih bermanfaat daripada memboikot atau sebaliknya memboikot atas sebagian orang lebih berguna daripada memotivasi dan merangkul.

Oleh karena itu dahulu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merangkul sebagian kaum dan memboikot sebagian lainnya...demikianlah sebagaimana yang disyariatkan terhadap musuh adalah berperang -sesekali- dan berdamai -sesekali- dan mengambil jizyah (upeti) -sesekali-  semua itu sesuai kondisi dan maslahat. Dan jawaban para imam seperti Al Imam Ahmad dalam perkara ini dibangun diatas prinsip ini. (Majmu' Fatawa 28/206)

Dan berkata Syaikhul Islam menerangkan kelirunya menempuh salah satu metode "merangkul" atau "memboikot" tanpa memperhatikan dasar-dasar diatas. ((Sesungguhnya sebagian kaum menjadikan yang demikian itu umum mereka memboikot dan mengingkari apa-apa yang mereka tidak diperintahkan maka boikot dan pengingkaran seperti ini tidak wajib dan tidak mustahab. Dan terkadang dengannya mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban atau perkara-perkara yang mustahab dan jatuh kepada yang haram. Dan selain dari mereka berpaling dari yang demikian secara total, mereka tidak memboikot apa-apa yang mereka diperintahkan untuk memboikotnya dari kejelekan-kejelekan yang bid'ah)) Majmu' Fatawa 28/213

Tidak seorang pun selamat dari pembicaraan (kritik) maka, Tatsabbutlah (ceknricek) oleh أبو المنذر الجاكرتي pada 10 Juni 2011 jam 22:13

Siapa saja yang membaca biografi ulama dan sejarah mereka atau bahkan sejarah manusia seluruhnya tidak mendapati seorang pun yang menonjol kecuali orang-orang berselisih tentangnya. Maka tidakk seorang pun yang menonjol dari ummat ini kecuali diperbincangkan, sebagian memuliakan dan membelanya dan sebagian lainnya merendahkan dan mempersalahkannya.

Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah telah menyebutkan perkataan yang berharga lagi panjang berkenaan dengan hal ini ketika beliau membawakan biografi Al Husain bin Manshur Al Hallaj -semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal-, dan bahwasanya ada diantara manusia yang meyakininya sebagai seorang wali padahal ia diantara da'i yang mengajak kepada ilhad (kekufuran) dan zindiq, maka saya akan bawakan perkataan beliau lengkap mengingat pentingnya masalah ini.

((Tidaklah pantas bagi anda wahai faqih untuk tergesa-gesa mengkafirkan seorang muslim kecuali dengan bukti yang qath'i (jelas) sebagaimana tidak dibenarkan bagi anda untuk meyakini ke wali-an seseorang yang telah terbukti penyimpangannya dan tersingkap ke zindiq-kannya. Tidak ini dan tidak pula itu. Bahkan yang adil adalah bahwa seseorang yang dianggap oleh ummat Islam shalih, baik maka ia demikian. Karena ummat Islam adalah saksi-saksi Allah dimuka bumi, karena ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan. Dan bahwa seseoran yang dianggap oleh ummat Islam jahat atau munafik atau pengekor kebatilan, maka ia demikian.

Dan adapun seseorang yang segolongan ummat ini menyesat-nyesatkannya dan segolongan ummat lainnya memuji dan mengagungkannya dan segolongan ummat yang ketiga bersikap abstain (tawaqquf) dan berhati-hati dari menjatuhkannya, maka orang ini adalah termasuk orang-orang yang sepatutnya (kita) berpaling darinya dan menyerahkan urusannya kepada Allah dan dimohonkan ampunan untuknya, karena islamnya pasti dengan keyakinan sedangkan kesesatannya diragukan. Dengan sikap ini kamu menjadi lega dan hatimu pun bersih dari kebencian kepada sesama mu'minin.

Kemudian ketahuilah bahwa ahli kiblat seluruhnya (ummat Islam), mukmin dan fasiknya, sunni dan mubtadi'nya, kecuali para shahabat, tidak pernah sepakat atas seorang muslim bahwa ia bahagia dan selamat atau celaka dan binasa. Perhatianlah Ash-Shiddiq (Abu Bakar) satu-satunya yang pernah ada pada ummat ini, kamu telah mengetahui bagaimana orang berselisih tentangnya, begitu pula Umar, Utsman dan Ali. Begitu pula Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Ma'mun dan begitu pula Bisyr Al Mirrisy, Ahmad bin Hambal, Asy-Syafi'i, Al Bukhari dan An-Nasa'i dan selain dari mereka dari tokoh-tokoh kebaikan dan kesesatan sampai harimu sekarang ini.

Maka tidak ada seorang imam yang sempurna dalam kebaikan kecuali disana ada orang-orang jahil dan ahlul bid'ah yang mencelanya dan menjatuhkan kehormatannya. Dan tidak ada seorang pun gembong Jahmiyah dan Rafidhah kecuali ada orang-orang yang membelanya dan meyakini (kebenaran) pendapat-pendapatnya diatas hawa nafsu dan kejahilan. Melainkan yang menjadi ukuran adalah pendapat jumhur yang bersih dari hawa nafsu dan kejahilan yang berhias dengan sifat wara' dan bersandar diatas ilmu.

Maka perhatikanlah oleh engkau wahai hamba Allah ajaran dan madzhab Al Hallaj ini, yang mana ia diantara gembong-gembong Qaramithah dan da'i-da'i yang mengajak kepada zandaqah (zindiq). Bersikap adillah dan jagalah sikap wara', berhati-hati dan hisablah dirimu. Apabila jelas bagimu bahwa sifat-sifat orang ini adalah sifat-sifat musuh Islam, cinta dengan kekuasaan, senang popularitas diatas kebenaran atau kebatilan, maka berlepaslah dari ajarannya. Sedangkan apabila yang jelas bagimu -hanya kepadaNya kita berlindung- bahwa orang ini -dan keadaannya seperti ini- diatas kebenaran, pembawa hidayah dan petunjuk, maka perbaikilah islammu dan mintalah pertolongan Rabmu agar Ia memberimu taufik kepada kebenaran dan mengokohkan hatimu diatas agamaNya, karena sesungguhnya petunjuk itu adalah cahaya yang Allah letakkan dihati hambaNya yang muslim. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Sedangkan apabila engkau ragu dan tidak mengetahui hakikat orang ini dan engkau berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, berarti engkau telah istirahatkan dirimu dan Allah tidak akan bertanya kepadamu tentangnya sama sekali.)) -selesai perkataan Al Imam Adz-Dzahabi- (lihat Siyar 14/343-345)

Sungguh keridha'an seluruh manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai dan tidak ada jalan keselamatan dari mereka seluruhnya. 

Bercadar Mazhab Resmi NU

Bercadar Mazhab Resmi NU

oleh Fadl Ahmad pada 12 Juni 2011 jam 13:44
Jika Muhammadiyah terkenal dengan keputusan Majelis Tarjih maka saudara kita Nahdhiyyin terkenal dengan keputusan Bahtsul Masail. Keputusan Bahtsul Masail yang paling bergengsi di NU tentu adalah hasil Bahtsul Masail di muktamar NU. Berikut ini saya kutipkan fatwa resmi NU yang telah menjadi keputusan resmi muktamar NU.
Teks arab dan terjemahnya saya memakai yang terdapat dalam buku Ahkam al Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’, Kumpulan Masalah2 Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra Semarang.
Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.

Seluruh fatwa yang ada di buku tersebut sudah dikoreksi oleh tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama antara lain J. M (Yang Mulia-ed) Rois Aam, Kj H Abdul Wahab Khasbullah, J.M. KH Bisyri Syamsuri, al Ustadz R Muhammad al Kariem Surakarta, KH Zubair Umar, Djailani Salatiga, al Ustadz Adlan Ali, KH Chalil Jombong dan alm KH Sujuthi Abdul Aziez Rembang.
Pada buku di atas tepatnya pada juz kedua yang berisi hasil keputusan Muktamar NU kedelapan yang diadakan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H pasnya pada halaman 8-9 tercantum fatwa yang merupakan jawaban pertanyaan yang berasal dari Surabaya sebagai berikut:
135: ما حكم خروج المرأة لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين والرجلين هل هو حرام أو لا؟ وإن قلتم بالحرمة فهل هناك قول بجوازه لأنه من الضرورة أو لا؟ (سورابايا)

135 Soal: Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau makruh?
Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat ataukah tidak? (Surabaya).
ج: يحرح خروجها لذلك بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.

Jawab.: Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata kaki-ed) apabila tidak ada fitnah.
Keterangan dari kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idhah dan Kitab Bajuri Hasyiah Fatkhul Qarib J. II Bab Nikah.
Catatan:

Terjemah dan huruf besar adalah sebagaimana yang terdapat dalam buku di atas.
Dalam fatwa resmi NU di atas, para ulama NU mengakui adanya perselisihan dalam Mazhab Syafii tentang batasan aurat yang boleh dinampakkan oleh seorang wanita ketika keluar rumah. Pendapat yang benar (baca:mu’tamad) dalam Mazhab Syafii –ditimbang oleh kaedah-kaedah mazhab- adalah pendapat yang mengatakan bahwa seluruh badan muslimah itu wajib ditutupi ketika hendak keluar rumah. Pendapat inilah yang dipilih dan difatwakan oleh NU. Sedangkan pendapat yang membolehkan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi muslimah adalah pendapat yang lemah dalam Mazhab Syafii.
Anehnya saat ini pendapat yang mu’tamad dalam mazhab berubah seakan-akan pendapat yang lemah dalam mazhab. Lebih parah lagi ketika ada orang yang mengamalkan pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafii malah dituduh dengan berbagai tuduhan keji.
Untuk melengkapi fatwa di atas saya kutipkan fatwa no 265 yang ada di juz kedua hal 132 yang merupakan keputusan Muktamar NU yang ke-15:
265: هل يجوز لنا أن نستدل بقولهم: الضرورة تبيح المحظورات أو قولهم: وإذا ضاق الأمر اتسع في جواز خروج النساء كاشفات عوراتهن عند الأجانب لما عمت البلوي في إندونيسيا أو لا؟ (فاكر عالم)
265, Soal: Apakah boleh kita mengambil dalil dengan Qoidah: dharurat itu memperbolehkan mengerjakan larangan atau Qoidah: apabila urusan itu sempit maka menjadi longgar untuk memperbolehkan keluarnya perempuan dengan membuka auratnya di samping lelaki lain karena telah menjadi biasa di Indonesia ataukah tidak? (Pagaralam)
ج: لا يجوز ذلك لأن ستر العورة للنساء في إندونيسيا وقت الخروج لا يؤدي إلى الهلاك أو ما يقاربه لأن الضرورة التي تبيح المحظورات هي التي أدت إلى الهلاك أو قارب. كما في الأشباه و النظائر و نصه:فالضرورة بلوغه حدا إن لم يتناول الممنوع هلك أو قارب أهـ.
Jawab.: Tidak boleh menggunakan dalil tersebut karena menutup aurat waktu keluar (rumah-ed) itu tidak membahayakan diri karena dlarurat yang memperbolehkan menjalankan larangan itu apabila tidak mengerjakan larangan dapat membahayakan diri atau mendekati bahaya.
Keterangan dari Kitab Asybah wan Nazair.
Cadar dalam Kitab-Kitab NU
Yang dimaksud dengan kitab-kitab NU di sini adalah kitab-kitab yang sering dikaji oleh saudara-saudara kita yang berafiliasi kepada NU.

Di antara buku yang terkenal di kalangan NU adalah kitab Safinatun Najah yang maknanya adalah perahu keselamatan.
Buku adalah buku pemula bagi orang yang hendak belajar fikih Syafii. Buku ini ditulis oleh Salim bin Sumir al Hadhrami-berasal dari Hadramaut Yaman- namun beliau meninggal di Jakarta.
Ketika membahas tentang aurat, penulis mengatakan:
فصل: العورات أربع: الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما بين السرة والركبة.

“Fasal (tentang aurat)
Aurat itu ada empat macam:
Pertama, aurat laki-laki dalam semua keadaan dan aurat budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut.
وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوي الوجه والكفين.
Kedua, aurat perempuan merdeka (baca:bukan budak) ketika shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
وعورة الحرة والأمة عند الأجانب جميع البدن.
Ketiga, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi (bukan mahrom) adalah seluruh anggota badannya.
وعند محارمهما والنساء ما بين السرة والركبة.
Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang berstatus mahrom dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut” (Safinatun Najah yang dicetak Nurud Duja-terjemah Safinatun Najah dalam bahasa Jawa- hal 58-59, terbitan Menara Kudus tanpa tahun).
Tegas dalam kutipan di atas bahwa menurut penulis Safinatun Najah seorang perempuan merdeka harus menutupi seluruh tubuhnya (termasuk mata) tanpa terkecuali ketika bertemu dengan laki-laki ajnabi baik di rumah, di warung, di pasar ataupun di sekolah.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kyai Asrar bin Ahmad bin Khalil Wonosari Magelang dalam Nurud Duja fi Tarjamah Safinatun Najah. Terjemah Safinatun Najah dalam bahasa ini diberi kata pengantar oleh penerjemahnya pada tanggal 17 Sya’ban 1380 H atau 1 Januari 1961 M dan diberi kata sambutan oleh Kyai Muhammad Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1380 H atau 16 Desember 1960 M dan Kyai Bisri Mushthofa Rembang pada 28 Jumadil Akhir 1380 H atau 17 Desember 1960 M.
Di halaman 59, Kyai Asrar pada komentar no 3 mengatakan, “Nomer telu: aurate wadon merdeka lan amah naliko sandingan karo wong lanang liya yo iku sekabehane badan”.
Yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Macam aurat nomer ketiga adalah aurat perempuan merdeka dan budak perempuan ketika berada di dekat laki-laki ajnabi adalah seluruh badannya”.
Penjelasan penulis Safinatun Najah dan Kyai Asror dari Wonosari Magelang tersebut tidaklah bisa dipraktekkan kecuali jika para perempuan memakai burqoh atau cadar yang menutupi seluruh badan termasuk mata. Kalau sekedar cadar yang masih menampakkan kedua mata masih dinilai kurang sesuai dengan penjelasan di atas.
Yang sangat disayangkan mengapa belum pernah saya jumpai saudara-saudara kita para mbah romo kyai NU yang menerapkan aturan ini pada istrinya (baca:bu nyai) atau pada anak-anaknya. Belum pernah juga saya jumpai warga nahdhiyyin yang menerapkan kandungan kitab Safinatun Najah ini padahal mereka sangat sering mengkaji kitab ini.
Mengapa realita berlainan dengan teori di kitab? Adakah belajar agama itu sekedar wawasan bukan untuk diamalkan?
Moga Allah selalu menuntun langkah-langkah kita menuju ilmu manfaat dan amal shalih yang berlandaskan ilmu yang benar.
Syarh ‘Uqud al Lajjiin fi Bayan Huquq al Jauzain karya Syarh Muhammad bin Umar Nawawi al Jawi adalah buku wajib santri NU yang ingin mewujudkan keluarga sakinah dalam rumah tangganya. Di dalamnya terdapat beragam nasihat untuk suami dan istri sehingga buku ini “wajib” dikaji oleh santri atau santriwati yang hendak menikah.
Sebatas pengetahuan saya penulis matan Uqud al Lajjiin yang bermakna untaian perak adalah anonim alias tidak diketahui secara pasti.
Di antara yang menarik di buku ini adalah bahasan tentang aurat wanita muslimah menurut penulis matan dan pen-syarah-nya.
Di halaman ke-3 baris ke-7 dari atas menurut cetakan dari penerbit Syarikah an Nur Asia (tanpa dicantumkan tahun terbit dan alamat penerbit) disebutkan sebagai berikut:
(الفصل الثاني في) بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي طاعة الزوج في غير معصية وحسن المعاشرة وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة نفسها من أن توطيء فراشه غيره و الاحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو مع اتفاء الشهوة والفتنة …

“(Fasal kedua itu berisi) penjelasan (mengenai hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak tersebut adalah:
1. mentaati suami selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat
2. memperlakukan suami dengan baik
3. menyerahkan dirinya kepada suami (jika suami mengajak untuk berhubungan badan, pent)
4. betah di rumah
5. menjaga diri jangan sampai ada laki-laki selain suaminya berada di tempat tidur suaminya
6. berhijab sehingga tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya adalah wajah dan kedua telapak tangannya karena adalah haram hukumnya seorang laki-laki melihat wajah dan telapak tangannya meski pandangan tersebut tanpa diiringi syahwat dan tidak dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang tergoda…”

Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Di halaman 17 baris ke-9 dari bawah penulis matan berkata sebagaimana berikut ini:
(فيجب علي المرأة إذا أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من أعين الناظرين)
“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak keluar rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya agar tidak terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”.
Berdasarkan dua kutipan di atas jelaslah bahwa wajibnya seorang muslimah menutup seluruh badannya ketika bertemu lelaki ajnabi adalah pendapat penulis matan Uqud al Lajjain sebagaimana dalam kutipan kedua, sekaligus pendapat Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi sebagaimana dalam kutipan pertama.
Bahkan di halaman 18 baris ke-9 dari bawah an Nawawi al Jawi al Bantani mengklaim adanya ijma’ amali (kesepakatan secara praktek nyata) bahwa muslimah itu bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau mengatakan,
إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات
“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam, pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”.
Jadi umat Islam tidak pernah mengenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah umat Islam sampai masa Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Jawi al Bantani adanya seorang wanita muslimah yang bukan budak keluar rumah dalam keadaan wajahnya terbuka.
Sungguh sangat aneh jika ada kaum nahdhiyyin yang lupa bahwa bercadar bagi wanita adalah ajaran resmi nahdhiyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab dasar yang diajarkan kepada santri pemula dan orang-orang awam. Bahkan beranggapan bahwa cadar bagi muslimah hanya sekedar budaya Arab Saudi dan tidak ada dalam ajaran Islam. Memang benar, ilmu itu akan terjaga jika di amalkan bukan hanya sekedar diteorikan.
Di antara kitab dasar untuk belajar fiqh Syafii adalah Matan al Taqrib atau Matan Abi Syuja’ karya Ahmad bin al Husain yang terkenal dengan sebutan Abu Syuja’. Syarh ringkas untuk matan Abi Syuja’ yang umum dipakai dan dipegang oleh para ustadz atau kyai NU adalah buku yang berjudul Fath al Qorib al Mujib karya Syaikh Muhammad bin Qasim al Ghazzi.
Ketika membahas syarat-syarat sah shalat dalam Fath al Qorib al Mujib hal 13 disebutkan sebagai berikut:
(و)الثاني (ستر) لون (العورة) عند القدرة ولو كان الشخص خاليا أو في ظلمة فإن عجز عن سترها صلى عاريا ولا يومئ بالركوع والسجود بل يتمهما ولا إعادة عليه.
(Dan) syarat sah shalat yang kedua adalah (menutupi) warna kulit dari (aurat) ketika memungkinkan meski sendirian atau pun shalat dikerjakan di dalam kegelapan. Jika seorang itu tidak mampu menutupi auratnya ketika hendak shalat hendaknya dia tetap shalat meski dalam kondisi telanjang. Ruku dan sujud ketika shalat dalam kondisi telanjang tidaklah dilakukan dengan isyarat namun dikerjakan secara sempurna sebagaimana dalam kondisi normal. Shalat yang dikerjakan dalam kondisi telanjang karena tidak memungkinkan itu sah sehingga tidak perlu diulangi ketika kondisi normal.
ويكون ستر العورة (بلباس طاهر)
Pakaian yang dipergunakan untuk menutup aurat haruslah (pakaian yang suci).
ويجب سترها أيضا في غير الصلاة عن الناس وفي الخلوة إلا لحاجة من اغتسال ونحوه.
Wajib hukumnya menutupi aurat meski di luar shalat dari pandangan orang. Demikian pula wajib menutupi aurat meski sendirian kecuali ketika ada keperluan semisal mandi.
وأما سترها عن نفسه فلا يجب لكنه يكره نظره إليها.
Adapun menutupi aurat sehingga tidak terlihat oleh diri sendiri itu tidak wajib namun makruh hukumnya memandangi aurat sendiri.
وعورة الذكر ما بين سرته وركبته وكذا الأمة.
Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut. Demikian pula aurat budak perempuan.
وعورة الحرة في الصلاة ما سوي وجهها وكفيها ظاهرا وباطنا إلى الكوعين.
Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan baik bagian atas ataupun bagian dalam telapak tangan hingga pergelangan tangan.
وأما عورة الحرة خارج الصلاة فجميع بدنها.
Sedangkan aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh badannya.
وعورتها في الخلوة كالذكر.
Aurat perempuan merdeka ketika sendirian adalah sebagaimana aurat laki-laki.
والعورة لغة النقص
Dalam bahasa Arab, aurat artinya adalah kekurangan.
وتطلق شرعا على ما يجب ستره وهو المراد هنا وعلى ما يحرم نظره وذكره الأصحاب في كتاب النكاح.
Sedangkan secara syariat memiliki dua pengertian a) bagian tubuh yang wajib ditutupi dan itulah yang dimaksud dengan aurat dalam topik bahasan ini b) bagian tubuh yang haram dipandangi oleh orang lain. Aurat dengan makna kedua ini disebutkan oleh para ahli fikih dalam bab nikah.
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkatan penulis matan Abi Syuja’. Sedangkan yang berada di luar tanda kurung adalah perkataan penulis Fath al Qorib al Mujib.

Jelaslah dari kutipan di atas bahwa penulis kitab Fath al Qorib al Mujib yang merupakan syarah ringkas untuk Matan Abi Syuja’ berpendapat bahwa muslimah itu wajib bercadar secara sempurna sehingga matanya sekalipun tidak terlihat. Demikian pula telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutupi. Namun mengapa kita tidak pernah melihat ibu-ibu atau mbak-mbak dari Muslimat NU yang memakai kaos kaki atau cadar –misalnya- dalam rangka menutupi aurat.
Dalam kutipan di atas juga terdapat pelajaran penting tentang syarat pakaian muslim dan muslimah. Syarat sebuah pakaian adalah bisa menutupi warna kulit orang yang memakainya alias tidak tembus pandang (baca:transparan).
Sehingga pakaian yang ‘nrawang’ sehingga terlihat dan diketahui apa warna kulit pemakainya misal kuning atau sawo matang, bukanlah pakaian yang memenuhi kriteria.
sumber : Ibnuramadhan.wordpress.